“Bu, pokoknya nilai saya harus B ya bu, saya ga mau dapet C”, tutur
seorang mahasiswi (sebut saja X), yang kala itu, saya baru saja melangkah
keluar dari ruangan ujian setelah mengawas ujian akhir semester, mata kuliah
Psikologi Abnormal dan Psikopatologi. Sontak saja saya kaget, sambil berpikir
dalam hati : mahasiswi seperti apa ini yang berani mengatur dosennya dalam hal
nilai? Alih-alih marah, saya bertanya kepadanya : “Mengapa kamu berkata demikian?” Ia menjawab (masih dengan nada
bicara yang manja) : “Iya bu, UTS kemarin
nilai saya jelek. Kalau UAS saya jelek, saya pasti dapat nilai jelek juga.
Pokoknya jangan C ya bu, B aja gapapa deh”. Dengan tertawa saya berkata : “Bagian mu adalah belajar. Masalah nilai itu
urusan saya”, kemudian saya berjalan menuju ruangan saya. Kening saya
berkerut mendapati mahasiswi seperti itu.
Lain lagi kisah Y, juga seorang
mahasiswi, yang pada mata kuliah itu sangat berharap mendapat nilai A. Namun
pada kenyataannya, ia hanya mendapat nilai B+. Ketika mengetahui nilainya, ia
protes dan mengirim pesan singkat kepada saya. Ia berkata : “Ibu, kenapa saya dapat nilai B+? Saya sudah
berusaha keras agar saya dapat A, tp knp begini jadinya? Saya tidak bisa tidur
3 malam, saya mengalami gangguan jenis ini memikirkan hal itu. Tolong saya bu,
saya mau ngelakuin apa aja asal nilai saya A”. Kening saya kembali
berkerut, namun saya tahu saya tidak perlu segera merespon pesan singkatnya,
supaya saya & mahasiswi tersebut dapat berpikir jernih menyikapi hal
tersebut. Keesokan malamnya, saya kirim pesan singkat kepadanya : “Temui saya besok setelah saya selesai
mengajar”. Ketika bertemu dengannya, saya penasaran hal apa yang
mendasarinya berani bertindak demikian. Ia bertutur bahwa sejak kecil ia selalu
dibandingkan dengan saudari kandungnya. Ada beberapa kegagalan yang pernah ia
alami, dan hal tersebut yang mendasari mengapa ia cenderung ambisius dalam
meraih sesuatu, khususnya meraih nilai sempurna di kampus. Akhirnya percakapan
yang terjadi meluas ke beberapa hal. Di penghujung percakapan ia berkata :”Bu, saya masih berharap nilai saya berubah menjadi
A, tapi saya tahu, sepertinya ibu ga akan mengabulkannya”. Dengan tersenyum
kecil, saya menjawab : “Itu tidak akan
pernah saya lakukan. Saya tidak bisa mengabulkan keinginanmu. Penilaian saya
bukan hanya ujian semata. Saya juga mengamati keaktifan & sikap semua
mahasiswa saya di kelas”.
Cerita Z berbeda lagi. Ia seorang
mahasiswa yang meminta umpan balik, ketika saya memberi tugas makalah
kepadanya. Kala itu, ia segera memperbaiki makalahnya dan memberikan kembali
kepada saya. Ketika melihat makalah tersebut, saya berpikir bahwa makalahnya
masih perlu banyak perbaikan. Namun, kata-kata yang keluar dari mulutnya,
membuat saya terpana. “Tapi bu, kalau
saya sudah perbaiki, nilai saya pasti A kan ya?” Haaaah? Ga salah dengarkah
saya? Respon saya sama seperti kasus X di atas :”Tugasmu adalah mengerjakan tugas semaksimal mungkin. Masalah penilaian
adalah tugas saya”.
Tiga kasus yang membuat saya terheran-heran
dengan ulah mahasiswa tersebut. Mengapa harus A? Mengapa harus B? Benarkah
nilai itu sedemikian lebih penting daripada proses belajar yang mereka alami di
kelas? Tidakkah mereka tahu ada hal lain yang lebih penting dari hanya sekedar
nilai semata? Mungkin disinilah letak kegagalan sebuah proses belajar mengajar.
Mereka gagal memahami hakikat dari belajar yang sesungguhnya. Saya gagal
membantu mereka memahami tujuan belajar sesungguhnya (Walau seingat saya, saya
selalu menekankan pentingnya proses dan bukan pencapaian nilai semata).
Tiga kejadian itu, berhasil
membuat ingatan saya kembali ke masa 3 tahun lalu. Sebagai pengajar muda, saya
belajar kembali teori-teori yang hampir saya lupakan. Itu bukan hal yang mudah
pastinya. Namun saya sadar, yang paling sulit menjalani profesi itu, bukan pada
materi / teori yang harus saya bawakan di kelas. Hal yang paling sulit
sesungguhnya adalah menghadapi mahasiswa yang notabene adalah kaum remaja,
dengan segala permasalahan di belakangnya. Ketangguhan dan keterampilan saya ditempa
sedemikian rupa menghadapi mereka. Tempaan itu rasanya tidak mudah saya jalani,
tetapi buah manisnya sudah saya petik dan saya rasakan sekarang. Saya belajar
mengelola emosi, belajar sabar, belajar tenang, belajar bersikap dan
berkata-kata dengan bijak. Dulu, semua itu saya pelajari ketika menghadapi kaum
remaja tersebut. Sekarang, semua itu saya pelajari ketika berhadapan dengan
banyak orang dengan beragam karakternya.
Terkait dengan tiga kasus di
atas, ada satu hal yang pernah saya sampaikan setiap berada di kelas : “Percayalah nak, suatu hari nanti, entah
ketika kalian sudah bekerja, atau kalian sudah semakin beranjak dewasa, nilai
itu hanya akan menjadi deretan angka atau huruf, yang tidak akan terlalu
berarti banyak buat kalian. Jadi… carilah hal yang lebih berarti atau berharga
bagi hidup kalian kelak”.