Kamis, 10 Oktober 2013

Haruskah A atau B saja?



Bu, pokoknya nilai saya harus B ya bu, saya ga mau dapet C”, tutur seorang mahasiswi (sebut saja X), yang kala itu, saya baru saja melangkah keluar dari ruangan ujian setelah mengawas ujian akhir semester, mata kuliah Psikologi Abnormal dan Psikopatologi. Sontak saja saya kaget, sambil berpikir dalam hati : mahasiswi seperti apa ini yang berani mengatur dosennya dalam hal nilai? Alih-alih marah, saya bertanya kepadanya : “Mengapa kamu berkata demikian?” Ia menjawab (masih dengan nada bicara yang manja) : “Iya bu, UTS kemarin nilai saya jelek. Kalau UAS saya jelek, saya pasti dapat nilai jelek juga. Pokoknya jangan C ya bu, B aja gapapa deh”. Dengan tertawa saya berkata : “Bagian mu adalah belajar. Masalah nilai itu urusan saya”, kemudian saya berjalan menuju ruangan saya. Kening saya berkerut mendapati mahasiswi seperti itu.
Lain lagi kisah Y, juga seorang mahasiswi, yang pada mata kuliah itu sangat berharap mendapat nilai A. Namun pada kenyataannya, ia hanya mendapat nilai B+. Ketika mengetahui nilainya, ia protes dan mengirim pesan singkat kepada saya. Ia berkata : “Ibu, kenapa saya dapat nilai B+? Saya sudah berusaha keras agar saya dapat A, tp knp begini jadinya? Saya tidak bisa tidur 3 malam, saya mengalami gangguan jenis ini memikirkan hal itu. Tolong saya bu, saya mau ngelakuin apa aja asal nilai saya A”. Kening saya kembali berkerut, namun saya tahu saya tidak perlu segera merespon pesan singkatnya, supaya saya & mahasiswi tersebut dapat berpikir jernih menyikapi hal tersebut. Keesokan malamnya, saya kirim pesan singkat kepadanya : “Temui saya besok setelah saya selesai mengajar”. Ketika bertemu dengannya, saya penasaran hal apa yang mendasarinya berani bertindak demikian. Ia bertutur bahwa sejak kecil ia selalu dibandingkan dengan saudari kandungnya. Ada beberapa kegagalan yang pernah ia alami, dan hal tersebut yang mendasari mengapa ia cenderung ambisius dalam meraih sesuatu, khususnya meraih nilai sempurna di kampus. Akhirnya percakapan yang terjadi meluas ke beberapa hal. Di penghujung percakapan ia berkata :”Bu, saya masih berharap nilai saya berubah menjadi A, tapi saya tahu, sepertinya ibu ga akan mengabulkannya”. Dengan tersenyum kecil, saya menjawab : “Itu tidak akan pernah saya lakukan. Saya tidak bisa mengabulkan keinginanmu. Penilaian saya bukan hanya ujian semata. Saya juga mengamati keaktifan & sikap semua mahasiswa saya di kelas”.
Cerita Z berbeda lagi. Ia seorang mahasiswa yang meminta umpan balik, ketika saya memberi tugas makalah kepadanya. Kala itu, ia segera memperbaiki makalahnya dan memberikan kembali kepada saya. Ketika melihat makalah tersebut, saya berpikir bahwa makalahnya masih perlu banyak perbaikan. Namun, kata-kata yang keluar dari mulutnya, membuat saya terpana. “Tapi bu, kalau saya sudah perbaiki, nilai saya pasti A kan ya?” Haaaah? Ga salah dengarkah saya? Respon saya sama seperti kasus X di atas :”Tugasmu adalah mengerjakan tugas semaksimal mungkin. Masalah penilaian adalah tugas saya”.
Tiga kasus yang membuat saya terheran-heran dengan ulah mahasiswa tersebut. Mengapa harus A? Mengapa harus B? Benarkah nilai itu sedemikian lebih penting daripada proses belajar yang mereka alami di kelas? Tidakkah mereka tahu ada hal lain yang lebih penting dari hanya sekedar nilai semata? Mungkin disinilah letak kegagalan sebuah proses belajar mengajar. Mereka gagal memahami hakikat dari belajar yang sesungguhnya. Saya gagal membantu mereka memahami tujuan belajar sesungguhnya (Walau seingat saya, saya selalu menekankan pentingnya proses dan bukan pencapaian nilai semata).
Tiga kejadian itu, berhasil membuat ingatan saya kembali ke masa 3 tahun lalu. Sebagai pengajar muda, saya belajar kembali teori-teori yang hampir saya lupakan. Itu bukan hal yang mudah pastinya. Namun saya sadar, yang paling sulit menjalani profesi itu, bukan pada materi / teori yang harus saya bawakan di kelas. Hal yang paling sulit sesungguhnya adalah menghadapi mahasiswa yang notabene adalah kaum remaja, dengan segala permasalahan di belakangnya. Ketangguhan dan keterampilan saya ditempa sedemikian rupa menghadapi mereka. Tempaan itu rasanya tidak mudah saya jalani, tetapi buah manisnya sudah saya petik dan saya rasakan sekarang. Saya belajar mengelola emosi, belajar sabar, belajar tenang, belajar bersikap dan berkata-kata dengan bijak. Dulu, semua itu saya pelajari ketika menghadapi kaum remaja tersebut. Sekarang, semua itu saya pelajari ketika berhadapan dengan banyak orang dengan beragam karakternya.

Terkait dengan tiga kasus di atas, ada satu hal yang pernah saya sampaikan setiap berada di kelas : “Percayalah nak, suatu hari nanti, entah ketika kalian sudah bekerja, atau kalian sudah semakin beranjak dewasa, nilai itu hanya akan menjadi deretan angka atau huruf, yang tidak akan terlalu berarti banyak buat kalian. Jadi… carilah hal yang lebih berarti atau berharga bagi hidup kalian kelak”. 

Kamis, 19 September 2013

HELLEN KELLER



            Pada tahun 2002, saya dan teman-teman kampus, memperoleh kesempatan untuk mengunjungi sebuah yayasan di Jogjakarta. Yayasan ini menampung anak-anak yang ditinggalkan oleh orangtuanya. Kondisi ini disebabkan karena orangtua tidak mampu secara finansial dalam mengurus anak, dan anak tersebut lahir di luar nikah. Anak-anak tersebut ditinggalkan oleh ibunya, hanya beberapa hari setelah mereka lahir.
Ada anak yang sangat hiperaktif, sehingga harus diikat di ranjang, ada juga anak yang memiliki keterbatasan fisik. Menurut pengasuh, kondisi ini disebabkan karena usaha aborsi yang dilakukan ibu, sebelum menyerahkan anak ke yayasan. Namun, ada satu anak yang masih saya ingat hingga detik ini. Saat itu, saya mencoba berinteraksi dengan seorang anak laki-laki, yang saya perkirakan berusia 3/4 tahun. Saya menyodorkan mainan kincringan ke wajahnya. Dia diam saja. Pengasuh mengatakan “Oh maaf mbak, dia ga bisa lihat”. Saya mencoba mengajaknya berbicara dengan cara menanyakan namanya. Dia juga diam saja. Pengasuh kembali mengatakan “Mbak, dia ini kasian, ga bisa lihat, ga bisa ngomong, juga ga bisa denger. Padahal umurnya udah 7 tahun. Dia mau makan, mandi, pipis, saya yang ngurus“. Betapa kagetnya saya. Itu alasannya, mengapa dia tidak berespon ketika saya menyodorkan mainan ke wajahnya, membunyikan kincringan, dan mengajaknya berbicara.
Empat tahun kemudian, saya kembali ke yayasan tersebut, tetapi tidak melihat anak itu lagi. Pertanyaan besar saya : Apa yang dapat dilakukan anak itu di kemudian hari? Apakah dia mampu bertahan hidup dengan tiga keterbatasan fisik yang dimiliki?
---------------------------------------------------
Dalam suatu mata kuliah, dosen memperlihatkan kepada kami sebuah film berjudul “A Miracle Worker”. Film ini adalah kisah nyata mengenai seorang gadis yang mengalami tiga keterbatasan fisik, yaitu buta, bisu, dan tuli. Orangtua Hellen sangat melindungi dan menuruti keinginan dirinya. Cinta berlebih dari orangtua membuat Hellen menjadi anak yang liar, dan agresif. Orangtua merasa tidak ada harapan untuk kesembuhan putrinya, namun guru Sullivan datang, berusaha membantu mengubah kebiasaan buruk Hellen agar menjadi manusia yang berhasil dalam hidupnya.
Guru Sullivan merubah perilaku Hellen, dengan metode Extinction, digunakan untuk mengurangi perilaku negatif ; & Shaping, digunakan untuk mengembangkan perilaku baru yang belum dimiliki Hellen. Teknik ini efektif, karena Hellen menjadi lebih tenang, tidak lagi memukul dan menampar pipi orang lain, dapat duduk tenang di meja makan, makan dari piring sendiri, dan menggunakan sendok saat makan. Pengetahuan dan keterampilan baru pun bertambah, seperti mengenal kata-kata baru, mengerti konsep ayah, ibu, guru, dan mampu mencintai orang-orang di sekitarnya. Hellen mampu mengucapkan kata pertamanya ”Water” setelah pengalaman merasakan air yang menetes ke tangannya. Hellen juga mampu melihat, walau bukan secara fisik, tetapi melihat dengan hati. Guru Sullivan berkata : “Apa yang kau tuntut dari anak, maka itu yang akan membentuk dirinya. Aku memperlakukan dia seperti anak yang bisa melihat, karena aku mau dia seperti itu”.
---------------------------------------------------
Betapa menyenangkan melihat kisah nyata Hellen yang berakhir bahagia. Namun, bagaimana dengan anak laki-laki yang saya temui di yayasan? Atau bagaimana nasib “Hellen – Hellen” yang lain? Jujur, saya tidak tahu secara pasti. Sempat terpikir, apakah yang dapat dilakukan seseorang yang memiliki keterbatasan pada tiga alat inderanya. Kedua kisah nyata ini membantu saya untuk belajar, bahwa : (1) Ada campur tangan Tuhan dalam diri setiap anak-anakNya. Tuhan membuat hal yang baik pada Hellen. Tuhan juga mampu melakukannya pada anak laki-laki di yayasan, dan pada kita semua. ; (2) Manusia tidak mampu membatasi kuasa Tuhan dalam bekerja. “Apa yang tidak mungkin bagi manusia, mungkin bagi Allah” (Luk 18:27). Seringkali, cara Tuhan bekerja tidak selalu sama dengan yang manusia pikirkan. ; (3) Tuhan menyediakan orang lain untuk membantu kita. Pada kasus Hellen, Tuhan bekerja melalui orang-orang di sekitarnya, sehingga Hellen memiliki kemampuan dan keterampilan baru (walau tidak sesempurna orang lain). ; (4) Mengucap syukur itu penting. Coba lihat kedua kisah diatas! Dan coba lihat juga diri kita! Jika kita masih sering mengeluh dengan kondisi kita, renungkanlah kedua kisah tersebut. Semoga tulisan ini bermanfaat.


- 11 Maret 2008 -

NANNY 911



            Apa maksudnya ya Nanny 911? Pertama saya juga bingung ketika melihat iklan itu di sebuah televisi swasta. Ya…. Nanny 911 adalah sebuah program acara di salah satu televisi swasta. Baru pertama kali saya melihatnya, dan saya langsung tertarik. Acara ini menceritakan tentang sebuah keluarga yang memiliki masalah. Mereka akan meminta pertolongan kepada seorang pengasuh melalui telepon. Itu sebabnya acara ini dinamakan Nanny 911. Seorang pengasuh –yang selanjutnya dinamakan Nanny- akan datang ke rumah tersebut selama satu minggu (live in). Tugas Nanny adalah mengamati apa yang terjadi dalam keluarga tersebut, menganalisa akar masalah yang terjadi dalam keluarga, dan menentukan perlakuan apa yang akan diberikan kepada masing-masing pihak yang memiliki masalah.
            Sebuah keluarga memiliki tiga orang anak-anak yang masih kecil. Berdasarkan hasil pengamatan, Nanny menemukan beberapa masalah yang terjadi di keluarga tersebut, yaitu :
1.     Anak yang pertama tidak mampu mengungkapkan emosinya. Jika ia marah atau merasa kesal, ia akan menangis, masuk ke kamarnya dan membanting pintu kamarnya, tanpa berbicara.
2.     Anak yang kedua juga tidak mampu mengungkapkan emosinya. Jika ia marah karena sesuatu yang terjadi tidak sesuai dengan dirinya, ia akan memukul orang yang ada di dekatnya.
3.     Anak yang ketiga (usia 4 tahun) belum mampu buang air kecil di toilet. Ia masih sering mengompol dan memakai popok bayi.
4.     Ayah yang merupakan kepala keluarga, terlalu sibuk bekerja. Ayah jarang berinteraksi dan berkomunikasi dengan anak-anaknya. Jika ayah pulang kerja, dan rumah dalam keadaan ribut karena masalah yang terjadi, maka ayah merasa tidak tenang dan kepalanya akan pecah.
5.     Ibu, dalam keluarga ini merupakan ibu rumah tangga yang sehari-hari mengurus anak-anak. Ibu sangat “bawel”, pengatur, memiliki standar sempurna terhadap anak-anak, sehingga semua anak-anak harus mampu melakukan apa yang menjadi keinginan ibu. Sebagai contoh, ibu memiliki obsesi menjadi orang terkenal, namun tidak mampu mewujudkannya. Ibu, kemudian mengikutsertakan semua anak-anak untuk melakukan casting iklan untuk sebuah produk coklat. Ibu berusaha keras membantu anak-anak untuk menghafal dialog iklan, padahal anak-anak tidak menunjukkan minat melakukan hal tersebut. Anak-anak melakukan hal tersebut hanya agar ibu senang.

Nanny melakukan analisa bahwa sumber masalah yang terjadi pada anak-anak dalam keluarga tersebut adalah ibu, namun ibu tidak menyadari bahwa dirinyalah yang menjadi penyebab kekacauan di dalam keluarga. Berdasarkan hasil pengamatan dan analisa, maka Nanny kemudian menentukan jenis perlakuan yang akan diberikan kepada masing-masing pihak yang memiliki masalah. Perlakuan dilakukan dengan beberapa pendekatan.
Pertama, Pendekatan Perilaku. Pendekatan ini berfokus pada bagaimana individu belajar dan kondisi apa yang menentukan tingkah laku individu. Terapi yang dilakukan dengan pendekatan ini pada dasarnya diarahkan pada tujuan untuk memperoleh tingkah laku baru, penghapusan tingkah laku yang tidak sesuai, memperkuat dan mempertahankan tingkah laku yang diinginkan. Jenis perlakuan yang diberikan dengan pendekatan ini adalah : (a) Modelling. Hal ini diterapkan terhadap anak ketiga dari pasangan tersebut. Nanny memberikan contoh, bahwa jika anak merasa ingin buang air kecil, ia harus melakukan “tarian buang air kecil”, pergi ke toilet, dan setelah selesai, kembali melakukan “tarian berhasil buang air kecil”. Hal ini dilakukan agar anak tidak mengompol dan tidak perlu menggunakan popok bayi lagi. (b) Latihan Asertif. Hal ini diterapkan terhadap anak pertama dan kedua, yang tidak mampu mengungkapkan perasaan marahnya dengan cara yang baik. Nanny mengajak kedua anak tersebut berbicara (secara terpisah), bagaimana mereka menerima bahwa dirinya sedang marah, namun mengekspresikan kemarahannya tersebut dengan cara yang baik, yaitu berbicara. Sebelumnya mereka tidak mampu membicarakannya dengan orangtua, karena mereka takut dengan orangtuanya. Hal ini dilakukan agar anak tidak membanting pintu kamar atau memukul ketika sedang marah. (c) Token Ekonomi. Hal ini diterapkan pada ketiga anak. Masing-masing anak memiliki toples yang berisi namanya. Jika mereka mampu melakukan hal yang baik, mereka akan diberi satu kelereng. Jika mereka melakukan hal yang tidak baik, satu kelereng akan diambil dari toples mereka. Pada saat toples terisi penuh dengan kelereng, mereka akan mendapatkan sejumlah uang yang digunakan untuk membeli hadiah. Hadiah tersebut akan mereka berikan kepada orang yang mereka anggap paling spesial.
Kedua, Pendekatan Kognitif. Pendekatan ini menitikberatkan pada proses berpikir, menilai, memutuskan, menganalisis dan bertindak. Terapi dengan pendekatan ini diterapkan terhadap ibu, karena ibu merupakan orang dewasa yang dianggap sudah mampu melakukan proses tersebut. Nanny melakukan konfrontasi terhadap ibu pada saat yang tepat, yaitu ketika situasi di dalam keluarga mulai memanas. Nanny berpikir jika ia tidak segera melakukan konfrontasi terhadap ibu, maka ibu akan semakin melakukan pembenaran-pembenaran dalam dirinya. Hal ini juga dilakukan agar perlakuan yang diterapkan kepada anak-anak tidak sia-sia. Keberhasilan terapi pada anak-anak akan menjadi sia-sia, jika penyebab dari semua masalah mereka (yaitu ibu) belum mendapatkan perlakuan terhadap masalahnya.
            Pada hari ketujuh (hari terakhir dalam program itu) anak-anak mulai tidak membanting pintu dan memukul ketika sedang marah, tidak mengompol dan mulai dapat memakai celana (tidak menggunakan popok bayi lagi). Ibu mulai menyadari sikap bawelnya, tidak menetapkan standar tinggi bagi semua anaknya. Setelah semua permasalahan berhasil diatasi, ayah dapat merasa nyaman ketika kembali ke rumah.
            Pada akhirnya Nanny bersiap pergi dari keluarga tersebut, dan kembali menunggu panggilan dari keluarga lain yang membutuhkannya. And the true story... happy ending.

- 1 Januari 2008 -



Setiap Orang Butuh Diberi Kesempatan Untuk Belajar



“Mbak, ga takut tho rambutnya dipotong sama saya? Saya baru belajar loh!”

Sebuah pertanyaan yang dilontarkan oleh seorang kapster ketika saya hendak merapikan rambut di sebuah salon di bilangan Malioboro, Jogjakarta. Saya mengatakan “Tenang aja mba, aku percaya kok mbaknya bisa”. Nyatanya, hasilnya tidak buruk, saya puas dengan hasil potongannya, walaupun waktu yang digunakan terbilang lama.
Hal yang sama saya rasakan. Bulan Juni ini, saya dan rekan satu divisi (psikososial), ”dipaksa” untuk menjadi fasilitator di sebuah acara diskusi Kekerasan Dalam Rumah Tangga, di dua daerah dampingan MPBGB. Sedikit rasa khawatir saya rasakan. Namun, beberapa teman terus ”mendesak”. Akhirnya kami putuskan bahwa kami harus mencoba. Satu hari sebelumnya, kami melakukan diskusi berdua untuk membuat modul kecil-kecilan, berisi materi dan langkah-langkah yang akan kami lakukan. Hari pertama, ada gangguan kecil terjadi. Saya merasa shock ketika salah satu warga mengatakan ”Loh masalah KDRT kok pembicaranya belum berumah tangga?” Akhirnya tugas saya digantikan teman untuk beberapa saat, kemudian ketika teman tersebut sudah merasa bingung mengenai apa yang harus dilakukan, saya mengambil alih. Begitu seterusnya hingga acara berakhir. Hari kedua, teknik tersebut masih kami gunakan. Kami saling mengisi satu sama lain. Berdasarkan pengamatan ketika mengikuti fasilitator dari lembaga lain memimpin diskusi,, kami  mencoba memberikan materi yang sama dengan yang mereka berikan. Dari sisi materi tidak ada perbedaan dengan mereka. Namun, mungkin karena jam terbang yang belum terlalu banyak, terkadang masih ada kekakuan ketika kami membawakan acara diskusi tersebut. Beberapa hal terkadang membuat kami ”kebingungan”. Apa yang harus kami lakukan jika ada peserta yang tidak terlalu paham dengan Bahasa Indonesia ; atau Apa yang harus kami lakukan jika ada pertanyaan di luar perkiraan kami? Namun, seiring berjalannya waktu, kami percaya bahwa setiap proses belajar akan mendatangkan pengalaman belajar. Kumpulan pengalaman belajar akan membantu kami untuk yakin pada diri kami, bahwa kami mampu melakukannya.
Adakah persamaan antara saya dan kapster salon tersebut? Kami sama-sama diberikan kesempatan untuk belajar. Belajar merupakan suatu perubahan perilaku atau kapasitas yang dicapai melalui pengalaman belajar (Parsons, dkk, 2001).  Perlu dicatat, setiap orang memiliki gaya sendiri dalam belajar. Tidak semua orang belajar dengan cara yang sama. Kecepatan setiap orang untuk menyerap semua informasi yang masuk ke dalam dirinya pun berbeda. Tidak menjadi masalah seseorang belajar dengan cepat atau lambat, atau dengan media apa seseorang belajar. Hal utama yang diperoleh ketika seseorang belajar adalah kemampuan, keterampilan, dan pengalaman belajar.
Lalu, apa yang dapat saya dan teman-teman lakukan? Begitu banyak yang dapat kita lakukan untuk mendukung orang lain belajar, yaitu : (a) Konsentrasi sangat diperlukan pada saat belajar, sehingga sebaiknya kita tidak mengganggu ketika orang lain sedang belajar ; (b) Buku merupakan salah satu media belajar, sehingga menyumbangkan buku kita yang sudah tidak terpakai agar dapat digunakan orang lain, sangatlah bermanfaat ; (c) Tidak mengejek orang lain yang melakukan kesalahan pada saat belajar. Ingat, belajar itu merupakan proses, dan bukan berorientasi pada hasil. Di dalam keterbatasannya, manusia akan menemukan cara untuk memperbaiki kesalahannya ; (d) Ingatkan orang lain untuk tidak perlu merasa takut gagal ketika sedang belajar atau mencoba suatu hal. Percaya diri, motivasi diri, dan keberanian merupakan modal awal untuk memulai belajar
Mari kita sama-sama mendukung setiap orang untuk belajar, karena setiap orang butuh diberi kesempatan untuk belajar. Di sepanjang tahap perkembangannya, manusia AKAN BELAJAR.


-28 Juni 2007-

Saya Bisa !!!!



Saya pasti bisa! Doakan saya ya....?!?

Masih ingat dengan ungkapan seperti itu? Kalau dahulu anda sering melihat sebuah program di salah satu televisi swasta, pasti ingat dengan ucapan tersebut. Ucapan ini sering diucapkan oleh beberapa peserta di sebuah game show di Jepang “Benteng Takeshi / Takeshi Castle”. Beberapa peserta mulai usia 18 – 40an tahun, akan berlari sambil mengatakan Saya pasti bisa! Doakan saya ya....?!?, sebelum memulai permainan tersebut.
Para peserta tersebut kemudian akan bermain. Mereka berpikir strategi yang akan mereka gunakan dalam satu babak permainan. Peserta yang lolos dalam satu babak akan maju ke babak selanjutnya. Peserta yang mampu lolos hingga babak terakhir, akan melawan para penjaga Benteng Takeshi untuk merebut benteng.
Peserta yang gagal dalam setiap babak akan langsung dinyatakan gagal, sehingga tidak dapat mengikuti babak selanjutnya (sistem gugur). Peserta yang gagal, akan diwawancarai oleh pembawa acara di lapangan. Pembawa acara akan bertanya “Hei...mengapa kamu bisa gagal? Wah payah kamu ini! Apa yang kamu rasakan?” Para peserta tersebut rata-rata akan menjawab “Ya sedih juga tidak bisa ikut main lagi. Tapi tidak apa-apa, yang penting saya sudah berusaha!”.
Permainan ini sungguh menarik perhatian saya. Sebenarnya, lebih tepatnya saya tertarik dengan sikap mental yang ditunjukkan oleh para peserta permainan tersebut. Pertama, Di awal permainan, peserta begitu meyakini bahwa dirinya mampu melewati setiap rintangan yang akan dihadapinya. Mereka sungguh percaya diri pada kemampuannya ; Kedua, Pada saat permainan berlangsung, mereka berpikir strategi apa yang mereka gunakan, berpikir bagaimana supaya berhasil, dan berusaha sekuat tenaga untuk menyelesaikan setiap rintangan yang mereka hadapi ; Ketiga, Di akhir permainan, ketika mereka berhasil menyelesaikan satu babak, terlihat tawa bahagia di wajah mereka, sambil bersiap diri menghadapi babak permainan selanjutnya. Namun, bagi peserta yang gagal, tidak terlihat kekecewaan yang sangat dalam di wajah mereka. Mereka kecewa, namun tidak membuat mereka patah semangat. Kesadaran bahwa mereka sudah menunjukkan usahanya, menjadi hal yang penting bagi mereka.
Lihatlah, bahwa orang-orang tersebut sungguh memiliki konsep diri yang positif. Mereka terlihat optimis, percaya diri, dan selalu bersikap positif terhadap segala sesuatu (keberhasilan ataupun kegagalan). Kegagalan dipandang sebagai pelajaran berharga untuk melangkah ke depan.
Konsep diri merupakan keyakinan, atau penilaian seseorang terhadap dirinya. Konsep diri terbentuk melalui proses belajar sejak kecil hingga dewasa. Lingkungan, pengalaman dan pola asuh orang tua memberi pengaruh terhadap konsep diri. Tiga aspek tersebut merupakan informasi bagi seseorang untuk menilai dirinya. Seseorang menilai dirinya berdasarkan pengalaman yang diperoleh dari lingkungan. Jika lingkungan memberikan sikap positif, maka seseorang merasa dirinya berharga sehingga tumbuh konsep diri positif.  
Lalu, bagaimana cara memiliki konsep diri yang positif? (a) Jika anda adalah seorang orangtua, bantulah anak anda memiliki konsep diri positif, dengan cara menghargai anak dengan segala keunikannya, bersikaplah adil dengan setiap anak, berikan pujian jika anak anda melakukan hal yang baik, dan tidak perlu menggunakan kekerasan terhadap anak (kekerasan fisik maupun psikis melalui perkataan kasar). Ingat... anak-anak mendapat perlindungan dari negara, seperti yang tertuang dalam UU RI No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ; (b) Hargai diri sendiri. Kalau bukan kita, siapa lagi dong yang dapat menghargai kita? Saat kita mampu menghargai diri sendiri, kita pun mampu menghargai dan melihat hal positif dari orang lain. Saat kita menghargai orang lain, maka orang lain pun akan menghargai kita ; (c) Berpikir positif dan rasional. Pikiran positif memampukan kita memandang persoalan dan seseorang dengan cara positif. Orang-orang yang berpikir positif, mampu menghargai dirinya dan melihat hal-hal positif yang dapat dilakukan demi keberhasilan di masa depan.
Bagaimana dengan anda dan saya? Sebuah perenungan bagi kita bersama.


- 9 Januari 2008 -

Tolong, Maaf, Terima Kasih



“Tolong, Maaf, Terima Kasih
adalah tiga hal yang selalu saya tekankan pada kedua anak saya”



Begitulah ungkapan artis cantik Ayu Diah Pasha ketika terlibat percakapan dengan Aleksander, pada acara Friends & the City, di salah satu televisi swasta. Aleksander, sang pembawa acara, merupakan sahabat yang sangat mengagumi kesantunan Ayu. Ayu menekankan bahwa sesuatu yang kita lakukan terhadap orang lain, akan dilakukan oleh orang lain juga terhadap kita. Ini yang disebut aksi reaksi. Di dalam mendidik anaknya, Ayu menekankan pentingnya tiga hal tersebut ketika berhadapan dengan orang lain. Ungkapan Tolong, Maaf, Terima Kasih, yang tidak hanya diucapkan, tetapi juga sungguh dilakukan. Saya sangat setuju dengan prinsip tersebut.
Coba perhatikan : (1) Apa yang sering anak-anak ucapkan saat meminta anggota keluarga lain mengambilkan handuk untuk mandi, atau kaos kaki saat akan berangkat sekolah? Sebuah kalimat perintah dalam bentuk teriakan kah? Atau sebuah kalimat permintaan yang diawali “Ma, tolong… / Mbak, tolong….” ? ; (2) Apa yang sering anak-anak lakukan ketika mereka melakukan kesalahan? Berdiam diri dan bersikap tidak peduli kah? Atau meminta maaf dengan penuh penyesalan, sambil berjanji untuk tidak mengulangi kesalahannya kembali? ; (3) Apa yang sering anak-anak ucapkan saat mereka mendapat bantuan dari orang lain, atau saat seorang pramusaji di sebuah tempat makan mengantarkan sebuah makanan untuknya? Diam dan segera menyantap makanan kah? Atau tersenyum sambil mengucapkan “ Makasih ya…..”.
Rasanya mudah ya untuk menerapkan ketiga hal tersebut? Atau sangat mudah ya saat kita meminta orang lain (terutama anak-anak) untuk menerapkan ketiga hal tersebut? Namun, bagaimana dengan kita? Apakah kita sudah menerapkannya terlebih dahulu pada diri kita sendiri?
Setiap ucapan yang keluar dari mulut anak, setiap perbuatan yang terlihat dari perilaku anak, merupakan gambaran bagaimana sesungguhnya pola asuh atau proses belajar yang terjadi di dalam keluarga. Tidak dapat dipungkiri, bahwa keluarga merupakan tempat pertama bagi seorang anak untuk belajar. Setiap hal yang diperolehnya dalam keluarga, akan menentukan bagaimana seorang anak bereaksi dalam lingkungan. Perilaku dan tutur kata orangtua akan menjadi contoh bagi anak dalam berbicara dan bertingkah laku di lingkungan sosialnya.
Yang menjadi pertanyaan kita kemudian adalah, bagaimana cara mendidik anak untuk berperilaku sopan dan santun? Pertama, Mulailah dari kita sendiri. Mampukan diri kita untuk mengucapkan kata tolong, maaf, dan terima kasih pada waktu yang tepat. Seperti yang telah dipaparkan diatas, setiap gerak gerik dan tutur kata orangtua merupakan contoh bagi anak. Bagaimana mungkin orangtua mengharapkan anak melakukan hal-hal positif, jika yang dilihat dan didengar anak dari orangtuanya adalah hal negatif? ; Kedua, Mulailah dari hati. Orangtua pun perlu belajar bahwa mengucapkan kata tolong, maaf, dan terima kasih bukan hanya sekedar ungkapan yang keluar dari mulut saja, tetapi sebuah ungkapan yang penuh ketulusan keluar dari hati. Berikan pengertian kepada anak untuk melakukan hal tersebut dari hati mereka. Sebuah pengertian dan contoh akan memampukan anak untuk memiliki sikap yang baik. Mengapa harus dari hati? Karena jika tidak dari hati, maka kita sendiri atau anak, akan lelah dengan sikap sopan yang pura-pura tersebut.
Saya akan menutup tulisan ini dengan mengutip pendapat Johannes A Gaertner, bahwa “Mengucapkan terima kasih adalah sikap sopan dan santun ; menunjukkan rasa terima kasih adalah sikap lapang hati dan mulia”. Memang benar pendapat Ayu Diah Pasha diatas, bahwa apapun yang kita berikan atau lakukan kepada sesama, entah bagaimana caranya dan bagaimana bentuknya, akan kembali kepada kita.

Semoga tulisan ini bermanfaat.




-12 Maret 2008 -