Pada tahun 2002, saya dan teman-teman
kampus, memperoleh kesempatan untuk mengunjungi sebuah yayasan di Jogjakarta . Yayasan ini
menampung anak-anak yang ditinggalkan oleh orangtuanya. Kondisi ini disebabkan
karena orangtua tidak mampu secara finansial dalam mengurus anak, dan anak
tersebut lahir di luar nikah. Anak-anak tersebut ditinggalkan oleh ibunya,
hanya beberapa hari setelah mereka lahir.
Empat tahun kemudian,
saya kembali ke yayasan tersebut, tetapi tidak melihat anak itu lagi. Pertanyaan
besar saya : Apa yang dapat dilakukan anak itu di kemudian hari? Apakah dia
mampu bertahan hidup dengan tiga keterbatasan fisik yang dimiliki?
---------------------------------------------------
Dalam suatu mata kuliah, dosen memperlihatkan kepada kami
sebuah film berjudul “A Miracle Worker”.
Film ini adalah kisah nyata mengenai seorang gadis yang mengalami tiga keterbatasan
fisik, yaitu buta, bisu, dan tuli. Orangtua Hellen sangat melindungi dan
menuruti keinginan dirinya. Cinta berlebih dari orangtua membuat Hellen menjadi
anak yang liar, dan agresif. Orangtua merasa tidak ada harapan untuk kesembuhan
putrinya, namun guru Sullivan datang, berusaha membantu mengubah kebiasaan buruk Hellen agar menjadi manusia yang
berhasil dalam hidupnya.
Guru Sullivan merubah
perilaku Hellen, dengan metode Extinction,
digunakan untuk mengurangi perilaku negatif ; & Shaping, digunakan untuk mengembangkan perilaku baru yang belum
dimiliki Hellen. Teknik ini efektif, karena Hellen menjadi lebih tenang, tidak
lagi memukul dan menampar pipi orang lain, dapat duduk tenang di meja makan,
makan dari piring sendiri, dan menggunakan sendok saat makan. Pengetahuan dan
keterampilan baru pun bertambah, seperti mengenal kata-kata baru, mengerti
konsep ayah, ibu, guru, dan mampu mencintai orang-orang di sekitarnya. Hellen mampu
mengucapkan kata pertamanya ”Water”
setelah pengalaman merasakan air yang menetes ke tangannya. Hellen juga mampu
melihat, walau bukan secara fisik, tetapi melihat dengan hati. Guru Sullivan
berkata : “Apa yang kau tuntut dari anak,
maka itu yang akan membentuk dirinya. Aku memperlakukan dia seperti anak yang
bisa melihat, karena aku mau dia seperti itu”.
---------------------------------------------------
Betapa menyenangkan melihat kisah nyata Hellen yang
berakhir bahagia. Namun, bagaimana dengan anak laki-laki yang saya temui di
yayasan? Atau bagaimana nasib “Hellen – Hellen”
yang lain? Jujur, saya tidak tahu secara pasti. Sempat terpikir, apakah yang
dapat dilakukan seseorang yang memiliki keterbatasan pada tiga alat inderanya. Kedua
kisah nyata ini membantu saya untuk belajar, bahwa : (1) Ada
campur tangan Tuhan dalam diri setiap anak-anakNya. Tuhan membuat hal yang baik
pada Hellen. Tuhan juga mampu melakukannya pada anak laki-laki di yayasan, dan pada
kita semua. ; (2) Manusia tidak
mampu membatasi kuasa Tuhan dalam bekerja. “Apa
yang tidak mungkin bagi manusia, mungkin bagi Allah” (Luk 18:27).
Seringkali, cara Tuhan bekerja tidak selalu sama dengan yang manusia pikirkan.
; (3) Tuhan menyediakan orang lain
untuk membantu kita. Pada kasus Hellen, Tuhan bekerja melalui orang-orang di sekitarnya,
sehingga Hellen memiliki kemampuan dan keterampilan baru (walau tidak
sesempurna orang lain). ; (4) Mengucap
syukur itu penting. Coba lihat kedua kisah diatas! Dan coba lihat juga diri
kita! Jika kita masih sering mengeluh dengan kondisi kita, renungkanlah kedua
kisah tersebut. Semoga tulisan ini bermanfaat.
- 11 Maret 2008 -